UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN
2014
TENTANG
DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa Desa memiliki hak asal
usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa dalam perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk
sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera;
c.
bahwa Desa dalam susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri
dengan undang-undang;
d.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk
Undang-Undang tentang Desa;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18,
Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG DESA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Desa adalah desa dan desa
adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Pemerintahan Desa adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Pemerintah Desa adalah
Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
4.
Badan Permusyawaratan Desa
atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
5.
Musyawarah Desa atau yang
disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
6.
Badan Usaha Milik Desa, yang
selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan,
dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
7.
Peraturan
Desa adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8.
Pembangunan Desa adalah
upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat Desa.
9.
Kawasan Perdesaan adalah
kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber
daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10.
Keuangan Desa adalah semua
hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
Desa.
11.
Aset Desa adalah barang
milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
12.
Pemberdayaan Masyarakat Desa
adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa.
13.
Pemerintah Pusat selanjutnya
disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14.
Pemerintahan Daerah adalah
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
15.
Pemerintah Daerah adalah
Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16.
Menteri adalah menteri yang
menangani Desa.
Pasal 2
Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Pasal 3
Pengaturan Desa berasaskan:
a.
rekognisi;
b.
subsidiaritas;
c.
keberagaman;
d.
kebersamaan;
e.
kegotongroyongan;
f.
kekeluargaan;
g.
musyawarah;
h.
demokrasi;
i.
kemandirian;
j.
partisipasi;
k.
kesetaraan;
l.
pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.
Pasal 4
Pengaturan Desa bertujuan:
a.
memberikan pengakuan dan penghormatan
atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
memberikan kejelasan status
dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.
melestarikan dan memajukan
adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d.
mendorong prakarsa, gerakan,
dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
e.
membentuk Pemerintahan Desa
yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f.
meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
g.
meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h.
memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i.
memperkuat masyarakat Desa
sebagai subjek pembangunan.
BAB II
KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1)
Desa terdiri atas Desa dan
Desa Adat.
(2)
Penyebutan Desa atau Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku
di daerah setempat.
BAB III
PENATAAN DESA
Pasal 7
(1)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan
Desa.
(2)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan
Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan
publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan
Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4)
Penataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Pasal 8
(1)
Pembentukan Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru
di luar Desa yang ada.
(2)
Pembentukan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat,
kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3)
Pembentukan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
batas usia Desa induk paling
sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b.
jumlah penduduk, yaitu:
1)
wilayah Jawa paling sedikit
6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga;
2)
wilayah Bali paling sedikit
5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
3)
wilayah Sumatera paling
sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga;
4)
wilayah Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus)
kepala keluarga;
5)
wilayah Nusa Tenggara Barat
paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala
keluarga;
6)
wilayah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling
sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
7)
wilayah Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500
(seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
8)
wilayah Nusa Tenggara Timur,
Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua
ratus) kepala keluarga; dan
9)
wilayah Papua dan Papua
Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga.
c.
wilayah kerja yang memiliki akses
transportasi antar wilayah;
d.
sosial budaya yang dapat
menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e.
memiliki potensi yang
meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi
pendukung;
f.
batas wilayah Desa yang
dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/
Walikota;
g.
sarana dan prasarana bagi
Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h.
tersedianya dana
operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah
Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang
disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan
nilai sosial budaya masyarakat Desa.
(5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui Desa persiapan.
(6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa
induk.
(7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3
(tiga) tahun.
(8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
Pasal 9
Desa dapat dihapus karena
bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis.
Pasal 10
Dua Desa atau lebih yang berbatasan
dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan
dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 11
(1)
Desa dapat berubah status
menjadi Kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan
pendapat masyarakat Desa.
(2)
Seluruh barang milik Desa
dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi Kelurahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan
pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 12
(1)
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kelurahan yang berubah
status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh
Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa.
(3)
Pendanaan perubahan status
kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 13
Pemerintah dapat
memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis
bagi kepentingan nasional.
Pasal 14
Pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 12 ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
Pasal 15
(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau
kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah
mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
urgensi, kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa,
dan/atau peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Gubernur menyatakan persetujuan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20
(dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan
Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat
diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.
(4) Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan
atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang
dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta
sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
(5) Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan
Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah
tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.
Pasal 17
(1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor
registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.
www.hukumonline.com
BAB IV
KEWENANGAN DESA
Pasal 18
Kewenangan Desa meliputi
kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.
Pasal 19
Kewenangan Desa meliputi:
a.
kewenangan berdasarkan hak
asal usul;
b.
kewenangan lokal berskala
Desa;
c.
kewenangan yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan
d.
kewenangan lain yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Pelaksanaan kewenangan
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal 21
Pelaksanaan kewenangan yang
ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.
Pasal 22
(1)
Penugasan dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)
Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.
BAB V
PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan Desa
diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal 24
Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa berdasarkan asas:
a.
kepastian hukum;
b.
tertib penyelenggaraan
pemerintahan;
c.
tertib kepentingan umum;
d.
keterbukaan;
e.
proporsionalitas;
f.
profesionalitas;
g.
akuntabilitas;
h.
efektivitas dan efisiensi;
i.
kearifan lokal;
j.
keberagaman; dan
k.
partisipatif.
Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25
Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26
(1)
Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a.
memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b.
mengangkat
dan memberhentikan perangkat Desa;
c.
memegang kekuasaan pengelolaan
Keuangan dan Aset Desa;
d.
menetapkan Peraturan Desa;
e.
menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa;
f.
membina kehidupan masyarakat
Desa;
g.
membina ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
h.
membina dan meningkatkan
perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala
produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.
mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j.
mengusulkan dan menerima
pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa;
k.
mengembangkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Desa;
l.
memanfaatkan teknologi tepat
guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan Desa secara
partisipatif;
n.
mewakili Desa di dalam dan
di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o.
melaksanakan wewenang lain
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a.
mengusulkan struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b.
mengajukan rancangan dan
menetapkan Peraturan Desa;
c.
menerima penghasilan tetap
setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat
jaminan kesehatan;
d.
mendapatkan pelindungan
hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e.
memberikan mandat
pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4)
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa;
c.
memelihara ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
d.
menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan;
e.
melaksanakan kehidupan
demokrasi dan berkeadilan gender;
f.
melaksanakan prinsip tata
Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien,
bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.
menjalin kerja sama dan
koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h.
menyelenggarakan
administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i.
mengelola Keuangan dan Aset
Desa;
j.
melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k.
menyelesaikan perselisihan masyarakat
di Desa;
l.
mengembangkan perekonomian
masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya
masyarakat Desa;
n.
memberdayakan masyarakat dan
lembaga kemasyarakatan di Desa;
o.
mengembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p.
memberikan informasi kepada
masyarakat Desa.
Pasal 27
Dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa
wajib:
a.
menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b.
menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada
Bupati/Walikota;
c.
memberikan laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d.
memberikan dan/atau
menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada
masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Pasal 28
(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian
sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 29
Kepala Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan
tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang,
tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.
melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi,
dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang
dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai
politik;
h.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai
ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau terlibat
dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l.
meninggalkan
tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang
jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 30
(1)
Kepala
Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2)
Dalam hal sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1)
Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
(2)
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara
serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 32
(1)
Badan Permusyawaratan Desa
memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala
Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2)
Badan Permusyawaratan Desa
membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(3)
Panitia pemilihan Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak.
(4)
Panitia pemilihan Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa,
lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.
Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib
memenuhi persyaratan:
a.
warga negara Republik
Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
c.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d.
berpendidikan paling rendah
tamat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat;
e.
berusia paling rendah 25
(dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f.
bersedia dicalonkan
menjadi Kepala Desa;
g.
terdaftar sebagai penduduk
dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun
sebelum pendaftaran;
h.
tidak sedang menjalani hukuman
pidana penjara;
i.
tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah
selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan
terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan
sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j.
tidak sedang dicabut hak
pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
k.
berbadan sehat;
l.
tidak pernah sebagai Kepala
Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m.
syarat lain yang diatur
dalam Peraturan Daerah.
Pasal 34
(1)
Kepala Desa dipilih langsung
oleh penduduk Desa.
(2)
Pemilihan Kepala Desa
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3)
Pemilihan Kepala Desa
dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
(4)
Dalam melaksanakan pemilihan
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan
Kepala Desa.
(5)
Panitia pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan
penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan
pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan
pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6)
Biaya
pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 35
Penduduk Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara pemilihan
Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah
ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal 36
(1)
Bakal calon Kepala Desa yang
telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan
sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa.
(2)
Calon Kepala Desa yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa
di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3)
Calon Kepala Desa dapat
melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1)
Calon Kepala Desa yang
dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
(2)
Panitia pemilihan Kepala
Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3)
Panitia pemilihan Kepala
Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan
Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Badan Permusyawaratan Desa
paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan
menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5)
Bupati/Walikota mengesahkan
calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala
Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya
penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk
keputusan Bupati/Walikota.
(6)
Dalam hal terjadi
perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan
perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 38
(1)
Calon Kepala Desa terpilih
dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2)
Sebelum memangku jabatannya,
Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3)
Sumpah/janji sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya
akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur
jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan
kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Pasal 39
(1)
Kepala Desa memegang jabatan
selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2)
Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa
jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala
Desa
Pasal 40
(1)
Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2)
Kepala Desa diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir masa jabatannya;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6
(enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala
Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa.
(3)
Pemberhentian Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
Kepala Desa diberhentikan
sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan
register perkara di pengadilan.
Pasal 42
Kepala Desa diberhentikan
sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam
tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap
keamanan negara.
Pasal 43
Kepala Desa yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42
diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 44
(1)
Kepala Desa yang diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui
proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa,
Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang
bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya.
(2)
Apabila Kepala Desa yang
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa
jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang
bersangkutan.
Pasal 45
Dalam hal Kepala Desa
diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris
Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 46
(1)
Dalam hal sisa masa jabatan
Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak
lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat Pegawai Negeri
Sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa
sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
(2)
Penjabat Kepala Desa
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 47
(1)
Dalam hal sisa masa jabatan
Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih
dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
(2)
Penjabat Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan
hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya
Kepala Desa.
(3)
Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4)
Musyawarah
Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa
diberhentikan.
(5)
Kepala Desa yang dipilih
melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas
Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat Desa terdiri atas:
a.
sekretariat
Desa;
b.
pelaksana
kewilayahan; dan
c.
pelaksana
teknis.
Pasal 49
(1)
Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya.
(2)
Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3)
Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Kepala Desa.
Pasal 50
(1)
Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah
Umum atau yang sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan
42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat
tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan
Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Perangkat Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan
tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang,
tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan
diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.
melakukan tindakan
meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi,
dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai
politik;
h.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai
ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau terlibat
dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji
jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama 60
(enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 52
(1)
Perangkat Desa yang melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif
berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2)
Dalam hal sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan
tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 53
(1)
Perangkat Desa berhenti
karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2)
Perangkat Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau
d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
(3)
Pemberhentian perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa setelah
dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54
(1)
Musyawarah Desa merupakan forum
permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa,
dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2)
Hal yang bersifat strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penataan Desa;
b. perencanaan Desa;
c. kerjasama Desa;
d. rencana investasi yang masuk ke Desa;
e. pembentukan BUM Desa;
f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. kejadian luar biasa.
(3)
Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4)
Musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan
Desa
Pasal 55
Badan Permusyawaratan Desa
mempunyai fungsi:
a.
membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.
menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat Desa; dan
c.
melakukan pengawasan kinerja
Kepala Desa.
Pasal 56
(1)
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan
wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.
(2)
Masa keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah/janji.
(3)
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk
masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak
secara berturut-turut.
Pasal 57
Persyaratan calon anggota
Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
b.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c.
berusia paling rendah 20
(dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah;
d.
berpendidikan paling rendah
tamat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat;
e.
bukan sebagai perangkat
Pemerintah Desa;
f.
bersedia dicalonkan menjadi
anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan
g.
wakil penduduk Desa yang dipilih
secara demokratis.
Pasal 58
(1)
Jumlah anggota Badan
Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima)
orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah,
perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.
(2)
Peresmian
anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(3)
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara
bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/Walikota atau pejabat
yang ditunjuk.
(4)
Susunan kata sumpah/janji
anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
”Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya
akan memenuhi kewajiban saya selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan
sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu
taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 59
(1)
Pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil
ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
(2)
Pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan
oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat
Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.
(3)
Rapat pemilihan pimpinan Badan
Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan
dibantu oleh anggota termuda.
Pasal 60
Badan Permusyawaratan Desa
menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 61
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengawasi
dan meminta keterangan
tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b.
menyatakan
pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c.
mendapatkan biaya
operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.
Pasal 62
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengajukan usul rancangan Peraturan
Desa;
b.
mengajukan
pertanyaan;
c.
menyampaikan
usul dan/atau pendapat;
d.
memilih dan dipilih; dan
e.
mendapat
tunjangan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa.
Pasal 63
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa wajib:
a.
memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
melaksanakan kehidupan
demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c.
menyerap, menampung,
menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d.
mendahulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e.
menghormati nilai sosial
budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan
f.
menjaga norma dan etika
dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal 64
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat Desa;
b.
melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
c.
menyalahgunakan wewenang;
d.
melanggar sumpah/janji
jabatan;
e.
merangkap jabatan sebagai
Kepala Desa dan perangkat Desa;
f.
merangkap sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g.
sebagai pelaksana proyek
Desa;
h.
menjadi pengurus partai
politik; dan/atau
i.
menjadi anggota dan/atau
pengurus organisasi terlarang.
Pasal 65
(1)
Mekanisme musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
a. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dipimpin
oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;
b. musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan
sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
Badan Permusyawaratan Desa;
c. pengambilan keputusan dilakukan dengan cara
musyawarah guna mencapai mufakat;
d. apabila musyawarah mufakat tidak tercapai,
pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara;
e. pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf
d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit 1/2 (satu perdua)
ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa yang hadir;
dan
f. hasil musyawarah Badan Permusyawaratan Desa
ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen
musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
(2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah
Desa
Pasal 66
(1)
Kepala Desa dan perangkat
Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2)
Penghasilan tetap Kepala
Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana
perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
(3)
Selain penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4)
Selain penghasilan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan
kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN DESA
DAN MASYARAKAT DESA
Pasal 67
(1)
Desa berhak:
a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan
hak asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
b. menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan
c. mendapatkan sumber pendapatan.
(2)
Desa berkewajiban:
a. melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta
kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e. memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat Desa.
Pasal 68
(1)
Masyarakat Desa berhak:
a. meminta dan mendapatkan informasi dari
Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa;
b. memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
c. menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan
atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa;
d. memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:
1.
Kepala Desa;
2.
perangkat Desa;
3.
anggota Badan
Permusyawaratan Desa; atau
4.
anggota lembaga
kemasyarakatan Desa.
e. mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari
gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2)
Masyarakat Desa
berkewajiban:
a. membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
b. mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;
c. mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman,
dan tenteram di Desa;
d. memelihara dan mengembangkan nilai
permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di Desa; dan
e. berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
a.
Jenis peraturan di Desa
terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan
Kepala Desa.
b.
Peraturan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c.
Peraturan
Desa ditetapkan oleh Kepala
Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
d.
Rancangan
Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi
Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum
ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
e.
Hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh
Bupati/Walikota.
f.
Dalam hal Bupati/Walikota
telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa
wajib memperbaikinya.
g.
Kepala Desa diberi waktu
paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk
melakukan koreksi.
h.
Dalam hal Bupati/Walikota tidak
memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
i.
Rancangan Peraturan Desa wajib
dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
j.
Masyarakat Desa berhak
memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
k.
Peraturan Desa dan peraturan
Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh
sekretaris Desa.
l.
Dalam pelaksanaan Peraturan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan
Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
Pasal 70
(1)
Peraturan
bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan
kerjasama antar-Desa.
(2)
Peraturan bersama Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa
masing-masing dalam kerjasama antar-Desa.
BAB VIII
KEUANGAN DESA DAN ASET
DESA
Bagian Kesatu
Keuangan Desa
Pasal 71
(1)
Keuangan Desa adalah semua
hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
Desa.
(2)
Hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan
pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal 72
(1)
Pendapatan
Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya
dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2)
Alokasi anggaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3)
Bagian hasil pajak daerah
dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4)
Alokasi dana Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh
perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5)
Dalam rangka pengelolaan
Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada
perangkat Desa yang ditunjuk.
(6)
Bagi Kabupaten/Kota yang tidak
memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi
dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya
disalurkan ke Desa.
Pasal 73
(1)
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2)
Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan
bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(3)
Sesuai dengan hasil
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Pasal 74
(1)
Belanja Desa diprioritaskan
untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah
Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
(2)
Kebutuhan pembangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada
kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan
masyarakat Desa.
Pasal 75
(1)
Kepala Desa adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2)
Dalam melaksanakan kekuasaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya
kepada perangkat Desa.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Aset Desa
Pasal 76
(1)
Aset
Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah
ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan
ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2)
Aset
lainnya milik Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a.
kekayaan Desa yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b.
kekayaan Desa yang diperoleh
dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c.
kekayaan Desa yang diperoleh
sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
hasil
kerjasama Desa; dan
e.
kekayaan Desa yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
(3)
Kekayaan milik Pemerintah
dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan
kepemilikannya kepada Desa.
(4)
Kekayaan milik Desa yang
berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
(5)
Kekayaan milik Desa yang
telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan
kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk fasilitas umum.
(6)
Bangunan milik Desa harus
dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara
tertib.
Pasal 77
(1)
Pengelolaan kekayaan milik
Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian
hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian
nilai ekonomi.
(2)
Pengelolaan kekayaan milik
Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa
serta meningkatkan pendapatan Desa.
(3)
Pengelolaan
kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa
berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN
PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78
(1)
Pembangunan Desa bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana
dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
(2)
Pembangunan Desa meliputi
tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3)
Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan
kegotong-royongan guna mewujudkan pengarus-utamaan perdamaian dan keadilan
sosial.
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 79
(1)
Pemerintah Desa menyusun
perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada
perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota.
(2)
Perencanaan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi:
a.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b.
Rencana Pembangunan Tahunan
Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan
penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
(3)
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
(4)
Peraturan Desa tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa
merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
(5)
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
(6)
Program Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau
didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.
(7)
Perencanaan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam
perencanaan pembangunan Kabupaten/ Kota.
Pasal 80
(1)
Perencanaan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikut sertakan
masyarakat Desa.
(2)
Dalam menyusun perencanaan
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib
menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa.
(3)
Musyawarah perencanaan Pembangunan
Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa
yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat
Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4)
Prioritas, program, kegiatan,
dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan
berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
a.
peningkatan kualitas dan
akses terhadap pelayanan dasar;
b.
pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal
yang tersedia;
c.
pengembangan ekonomi
pertanian berskala produktif;
d.
pengembangan dan pemanfaatan
teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e.
peningkatan kualitas
ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa.
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1)
Pembangunan Desa
dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
(2)
Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan
seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
(3)
Pelaksanaan Pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal
dan sumber daya alam Desa.
(4)
Pembangunan lokal berskala
Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5)
Pelaksanaan program
sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk
diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Paragraf 3
Pemantauan dan
Pengawasan Pembangunan Desa
Pasal 82
(1)
Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
(2)
Masyarakat Desa berhak
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa.
(3)
Masyarakat Desa melaporkan
hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa
kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
(4)
Pemerintah Desa wajib
menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan
melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5)
Masyarakat Desa
berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan
Pembangunan Desa.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan
Perdesaan
Pasal 83
(1)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/
Kota.
(2)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan
melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
(3)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan meliputi:
a.
penggunaan dan pemanfaatan
wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata
ruang Kabupaten/Kota;
b.
pelayanan yang dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c.
pembangunan infrastruktur,
peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan
d.
pemberdayaan masyarakat Desa
untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
(4)
Rancangan pembangunan
Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
(5)
Rencana pembangunan Kawasan
Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota
sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Pasal 84
(1)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa
dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2)
Perencanaan, pelaksanaan,
pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan
merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
(3)
Pengaturan
lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan,
pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 85
(1)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa,
dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa
dan masyarakat Desa.
(3)
Pembangunan Kawasan
Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa
dan/atau kerja sama antar-Desa.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi
Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 86
(1)
Desa berhak mendapatkan
akses informasi melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan
Perdesaan.
(3)
Sistem informasi Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan
perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
(4)
Sistem informasi Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa,
Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa
dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(5)
Sistem informasi Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan
dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan.
(6)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1)
Desa dapat mendirikan Badan
Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa.
(2)
BUM Desa dikelola dengan
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3)
BUM Desa dapat menjalankan
usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 88
(1)
Pendirian BUM Desa
disepakati melalui Musyawarah Desa.
(2)
Pendirian BUM Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil usaha BUM Desa
dimanfaatkan untuk:
a.
pengembangan usaha; dan
b.
Pembangunan Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin
melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 90
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong
perkembangan BUM Desa dengan:
a.
memberikan hibah dan/atau
akses permodalan;
b.
melakukan pendampingan
teknis dan akses ke pasar; dan
c.
memprioritaskan BUM Desa
dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB XI
KERJASAMA DESA
Pasal 91
Desa dapat mengadakan kerja
sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Bagian Kesatu
Kerjasama antar-Desa
Pasal 92
(1)
Kerjasama antar-Desa
meliputi:
a. pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh
Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
b. kegiatan kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
c. bidang keamanan dan ketertiban.
(2)
Kerjasama antar-Desa
dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui kesepakatan
musyawarah antar-Desa.
(3)
Kerjasama antar-Desa
dilaksanakan oleh badan kerjasama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan
Bersama Kepala Desa.
(4)
Musyawarah antar-Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan:
a. pembentukan lembaga antar-Desa;
b. pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama antar-Desa;
c. perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program
pembangunan antar-Desa;
d. pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa,
antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
e. masukan terhadap program Pemerintah Daerah tempat
Desa tersebut berada; dan
f. kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan
melalui kerja sama antar-Desa.
(5)
Dalam melaksanakan
pembangunan antar-Desa, badan kerjasama antar-Desa dapat membentuk
kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan.
(6)
Dalam pelayanan usaha
antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau
lebih.
Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak
Ketiga
Pasal 93
(1) Kerja sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan
untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2)
Kerja sama dengan pihak
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah
Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN
DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan
Desa
Pasal 94
(1)
Desa mendayagunakan lembaga
kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)
Lembaga kemasyarakatan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa
sebagai mitra Pemerintah Desa.
(3)
Lembaga kemasyarakatan Desa
bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan
melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4)
Pelaksanaan program dan
kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan
mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1)
Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
(2)
Lembaga adat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi
adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan
berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.
(3)
Lembaga adat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan
sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat
istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA
ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan
masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal 97
(1)
Penetapan Desa Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial,
genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau
gabungan unsur adanya:
a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan
bersama dalam kelompok;
b. pranata pemerintahan adat;
c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d. perangkat norma hukum adat.
(3)
Kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang
sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:
a. keberadaannya telah diakui berdasarkan
undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai yang dianggap
ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifat sektoral; dan
b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan
dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang
lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
(4)
Suatu kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan
Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
a.
tidak mengancam kedaulatan
dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b.
substansi norma hukum
adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 98
(1)
Desa
Adat ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/ Kota.
(2)
Pembentukan Desa Adat
setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan
sarana prasarana pendukung.
Pasal 99
(1)
Penggabungan Desa Adat dapat
dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 100
(1)
Status
Desa dapat diubah menjadi Desa
Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa,
dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat
yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(2)
Dalam hal Desa diubah
menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat,
dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih
status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa,
kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa
Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi
kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 101
(1)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan
Desa Adat.
(2)
Penataan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(3)
Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
Pasal 102
Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan Desa Adat
berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
a.
pengaturan dan pelaksanaan
pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b.
pengaturan dan pengurusan
ulayat atau wilayah adat;
c.
pelestarian nilai sosial
budaya Desa Adat;
d.
penyelesaian sengketa adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip
hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e.
penyelenggaraan sidang
perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.
pemeliharaan ketenteraman
dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat; dan
g.
pengembangan kehidupan hukum
adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan
hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa
Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal 105
Pelaksanaan kewenangan yang
ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106
(1)
Penugasan dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan
kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2)
Penugasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan dan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul
dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 108
Pemerintahan Desa Adat
menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan
asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan kelembagaan,
pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat
ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110
Peraturan Desa Adat
disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di Desa Adat
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 111
(1)
Ketentuan khusus tentang
Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya
berlaku untuk Desa Adat.
(2)
Ketentuan tentang Desa
berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus
tentang Desa Adat.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan
pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah.
(3)
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat
Desa dengan:
a. menerapkanhasil pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, teknologi tepat guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan
pertanian masyarakat Desa;
b. meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat
Desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; dan
c. mengakui dan memfungsikan institusi asli dan/atau
yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4)
Pemberdayaan masyarakat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan.
Pasal 113
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat
(1) meliputi:
a.
memberikan pedoman dan
standar pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
memberikan pedoman tentang dukungan
pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa;
c.
memberikan penghargaan,
pembimbingan, dan pembinaan kepada lembaga masyarakat Desa;
d.
memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
e.
memberikan pedoman standar
jabatan bagi perangkat Desa;
f.
memberikan bimbingan,
supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
g.
memberikan penghargaan atas
prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan Desa;
h.
menetapkan bantuan
keuangan langsung kepada Desa;
i.
melakukan pendidikan dan
pelatihan tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa;
j.
melakukan penelitian tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
k.
mendorong percepatan
pembangunan perdesaan;
l.
memfasilitasi dan melakukan
penelitian dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa;
dan
m. menyusun dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM
Desa dan lembaga kerja sama Desa.
Pasal 114
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (1) meliputi:
a.
melakukan pembinaan terhadap
Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
mengatur Desa;
b. melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka
pemberian alokasi dana Desa;
c.
melakukan pembinaan
peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
d. melakukan pembinaan manajemen Pemerintahan Desa;
e.
melakukan pembinaan upaya
percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan
bantuan teknis;
f.
melakukan bimbingan
teknis bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
g. melakukan inventarisasi kewenangan Provinsi yang
dilaksanakan oleh Desa;
h.
melakukan pembinaan dan
pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
i.
melakukan pembinaan terhadap
Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j.
membantu Pemerintah dalam
rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
k.
membina dan mengawasi
penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama antar-Desa.
Pasal 115
Pembinaan dan pengawasan
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman
pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b.
memberikan pedoman
penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c.
memberikan pedoman
penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d.
melakukan fasilitasi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e.
melakukan evaluasi dan
pengawasan Peraturan Desa;
f.
menetapkan pembiayaan
alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g.
mengawasi pengelolaan
Keuangan Desa pendayagunaan Aset Desa;
h.
melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i.
menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan,
dan lembaga adat;
j.
memberikan penghargaan atas
prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
k.
melakukan upaya percepatan
pembangunan perdesaan;
l.
melakukan upaya percepatan
Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan
teknis;
m.
melakukan peningkatan
kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
n.
memberikan sanksi atas
penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1)
Desa yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
(2)
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat
di wilayahnya.
(3)
Penetapan Desa dan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(4)
Paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
berlaku, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melakukan inventarisasi
Aset Desa.
Pasal 117
Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 118
(1)
Masa jabatan Kepala Desa yang
ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa jabatannya.
(2)
Periodisasi masa jabatan
Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(3)
Anggota Badan
Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai
habis masa keanggotaanya.
(4)
Periodisasi keanggotaan
Badan Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(5)
Perangkat Desa yang tidak
berstatus Pegawai Negeri Sipil tetap melaksanakan tugas sampai habis
masa tugasnya.
(6)
Perangkat Desa yang
berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil melaksanakan tugasnya sampai
ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan Desa wajib mendasarkan
dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 120
(1)
Semua peraturan pelaksanaan
tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(2)
Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 121
Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 122
Undang-Undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya
dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 7
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
I. UMUM
1.
Dasar
Pemikiran
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya,
Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia
terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan
“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan
Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati
hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap
diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang
disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa
(founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara
kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat
homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan
pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya
mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan
tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal
itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam
sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa
pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja
Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di
Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut
belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang
hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan
sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa
yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi,
keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan
sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial
budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan
amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan
ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan
masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan
peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan.
Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing
community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum
adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa
menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas
yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak
asal¬usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan
pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan
pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa,
pembangunan Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan
yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan
Desa dan Desa Adat dapat melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya
guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri
dalam Undang-Undang ini.
Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam
Negeri. Dalam kedududukan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum,
petunjuk teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa.
2.
Tujuan
dan Asas Pengaturan
a.
Tujuan
Pengaturan
Pemerintah negara Republik Indonesia dibentuk untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan
negara Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan
demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera. Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam
Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1)
memberikan pengakuan dan
penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)
memberikan kejelasan status
dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3)
melestarikan dan memajukan
adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)
mendorong prakarsa, gerakan,
dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
5)
membentuk Pemerintahan Desa
yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6)
meningkatkan pelayanan
publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
7)
meningkatkan ketahanan
sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8)
memajukan perekonomian
masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
9)
memperkuatmasyarakat Desa
sebagai subjek pembangunan.
b. Asas Pengaturan
Asas pengaturan dalam
Undang-Undang ini adalah:
1)
rekognisi, yaitu pengakuan
terhadap hak asal usul;
2)
subsidiaritas, yaitu
penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk
kepentingan masyarakat Desa;
3)
keberagaman, yaitu pengakuan
dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi
dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
4)
kebersamaan, yaitu semangat
untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara
kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
5)
kegotongroyongan, yaitu
kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6)
kekeluargaan, yaitu kebiasaan
warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar
masyarakat Desa;
7)
musyawarah, yaitu proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui
diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8)
demokrasi, yaitu sistem
pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan
oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata,
dan dijamin;
9)
kemandirian, yaitu suatu
proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan
suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam
suatu kegiatan;
11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan
peran;
12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program,
dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa; dan
13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan
secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan Desa.
3.
Materi
Muatan
Undang-Undang ini menegaskan bahwa penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Undang-Undang ini mengatur materi mengenai Asas
Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa,
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa,
Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan
Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya
berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
4.
Desa
dan Desa Adat
Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai
karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat
atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari
Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Desa.
Desa Adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi
kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap
diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat
berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa
Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa
sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat.
Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis
mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa
berdasarkan hak asal usul.
Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk
berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan
genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah
kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan
teritorial. Dalam kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada
dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di
Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera
bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali,
lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Di dalam perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi
lebih dari 1 (satu) Desa Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1
(satu) Desa Adat menjadi Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi
sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan
perubahan status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia atas prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat
dapat berubah menjadi Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.
Penetapan Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada
ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Bab XIII Undang-Undang ini.
Pembentukan Desa Adat yang baru berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur
dalam Bab III Undang-Undang ini. Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud di
atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yaitu:
a.
Putusan Nomor 010/PUU-l/2003
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang¬Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b.
Putusan Nomor 31/PUU-V/2007
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota
Tual Di Provinsi Maluku;
c.
Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d.
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Namun demikian, karena
kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa Adat melaksanakan
fungsi pemerintahan (local self government) maka ada syarat mutlak yaitu adanya
wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain serta
ditambah dengan salah satu pranata lain dalam kehidupan masyarakat hukum adat
seperti perasaan bersama, harta kekayaan, dan pranata pemerintahan adat.
5.
Kelembagaan
Desa
Di dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kelembagaan
Desa/Desa Adat, yaitu lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas
Pemerintah Desa/Desa Adat dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga
Kemasyarakatan Desa, dan lembaga adat.
Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
merupakan kepala Pemerintahan Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara
yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat.
Dengan posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan
tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a.
sebutan Kepala Desa/Desa
Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;
b.
Kepala Desa/Desa Adat
berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin
masyarakat;
c.
Kepala Desa dipilih secara
demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali bagi Desa Adat dapat menggunakan
mekanisme lokal; dan
d.
pencalonan Kepala Desa dalam
pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai politik sehingga Kepala Desa
dilarang menjadi pengurus partai politik.
Mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang
semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang
didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan
lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam
kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan
Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala
Desa sehingga Badan Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa
yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat Desa.
6.
Badan
Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama
lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.
Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan
permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai
kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat
Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat, Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi
penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama
lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah
Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar
oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan
Pemerintahan Desa.
7.
Peraturan
Desa
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah
dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa merupakan kerangka
hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan
Desa.
Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas
berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan
kepentingan umum, yaitu:
a.
terganggunya kerukunan antar
warga masyarakat;
b.
terganggunya akses terhadap
pelayanan publik;
c.
terganggunya ketenteraman
dan ketertiban umum;
d.
terganggunya kegiatan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
e.
diskriminasi terhadap suku,
agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses
secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan
partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan
atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
proses penyusunan Peraturan Desa.
Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan
hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh
masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar
pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh
warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk
kepentingan masyarakat Desa.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan
Desa yang telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban
mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan
Permusyawaratan Desa. Selain Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif
terhadap pelaksanaan Peraturan Desa.
Jenis peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa
adalah Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
8.
Pemilihan
Kepala Desa
Kepala Desa dipilih secara langsung oleh dan dari
penduduk Desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan
masa jabatan 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa
dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut
atau tidak secara berturut¬turut. Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan
Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Khusus mengenai pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang
ini diatur agar dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota
dengan maksud untuk menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.
Pemilihan Kepala Desa secara serentak mempertimbangkan
jumlah Desa dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota sehingga dimungkinkan
pelaksanaannya secara bergelombang sepanjang diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan Kepala Desa
secara serentak, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pengisian jabatan
Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.
Jabatan Kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang
berlaku bagi Desa Adat. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Kepala Desa Adat,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat menetapkan penjabat yang berasal dari
masyarakat Desa Adat yang bersangkutan.
9.
Sumber
Pendapatan Desa
Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas
pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diterima oleh Kabupaten/Kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa.
Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha
Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa,
pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak
menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.
Bagian dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.
Alokasi anggaran untuk Desa yang bersumber dari Belanja
Pusat dilakukan dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata
dan berkeadilan.
10. Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan
melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu, Undang-Undang ini menggunakan 2
(dua) pendekatan, yaitu „Desa membangun‟ dan „membangun Desa‟ yang
diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan
pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya
dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program,
kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan
masyarakat Desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal
dan sumber daya alam Desa. Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa diinformasikan
kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana Pembangunan Desa.
Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai
rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Sejalan dengan tuntutan dan dinamika pembangunan bangsa,
perlu dilakukan pembangunan Kawasan Perdesaan. Pembangunan Kawasan Perdesaan
merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam satu Kabupaten/Kota sebagai
upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan
pembangunan partisipatif. Oleh karena itu, rancangan pembangunan Kawasan
Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa.
11. Lembaga Kemasyarakatan Desa
Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti
rukun tetangga, rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna,
dan lembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga
kemasyarakatan Desa bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam
memberdayakan masyarakat Desa.
Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah
partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan,
dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di
tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif
dalam kegiatan pembangunan.
12. Lembaga Adat Desa
Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah
tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat memiliki
wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat
tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan
berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra Pemerintah Desa
dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
13. Ketentuan Khusus
Khusus bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi
Papua Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan
mengenai pengaturan Desa di samping memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang
ini juga memperhatikan:
a.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan
Undang¬Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi
Undang-Undang; dan
b.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1 – 4 Cukup jelas.
Pasal 5
Desa yang berkedudukan di
wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 6
Ketentuan ini untuk mencegah
terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara
Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya
terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara
Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 7
Ayat (1) – (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a – c Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan dan perubahan
kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa
Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa
Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8
Ayat (1)
Pembentukan Desa dapat
berupa:
a.
pemekaran dari 1 (satu) Desa
menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b.
penggabungan bagian Desa
dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c.
penggabungan beberapa Desa
menjadi 1 (satu) Desa baru.
Ayat (2) – (8) Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan
“Program Nasional Yang Strategis“ adalah antara lain program pembuatan waduk
atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
“menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota” adalah termasuk
untuk memberikan dana purnatugas (pesangon) bagi Kepala Desa dan perangkat Desa
yang diberhentikan sebagai akibat perubahan status Desa menjadi kelurahan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan status kelurahan
menjadi Desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian tetap menjadi
kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk
menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat
perdesaan.
Ayat (2)-(3) Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan
“kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan terluar dalam
wilayah perbatasan antarnegara, program transmigrasi, dan program lain yang
dianggap strategis.
Pasal 14 – 16 Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan peta batas wilayah
Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “hak
asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak
asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa
atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat,
antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum
adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan
prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu,
sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.
Huruf c – d Cukup jelas.
Pasal 20 - 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tertib
penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara Pemerintahan
Desa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tertib
kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
“keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf f
Yang dimaksud dengan
“profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan
“efektivitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang
dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan
“efisiensi” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan
harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan
“kearifan lokal” adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam penetapan kebijakan
harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat Desa.
Huruf j
Yang dimaksud dengan
“keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang tidak boleh mendiskriminasi
kelompok masyarakat tertentu.
Huruf k
Yang dimaksud dengan
“partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang mengikutsertakan
kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.
Pasal 25
Penyebutan nama lain untuk
Kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di daerah
masing-masing.
Pasal 26
Ayat (1) – (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a – bulan Cukup jelas.
Huruf c
Jaminan kesehatan yang
diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan pelayanan yang dilakukan
oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d – e Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 27 - 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pemberitahuan Badan
Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa jabatan
Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/ Walikota.
Ayat (2) – (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh
masyarakat” adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh
masyarakat lainnya.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1) – (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Biaya pemilihan Kepala Desa
yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya,
honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
Pasal 35 - 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan
“terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang telah dilantik
sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum
habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6
(enam) tahun.
Kepala Desa yang telah
menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa
jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa
jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk
mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “berakhir
masa jabatannya” adalah apabila seorang Kepala Desa yang telah berakhir masa
jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan harus diberhentikan.
Dalam hal belum ada calon
terpilih dan belum dapat dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah
apabila Kepala Desa menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun
mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Huruf c – d Cukup jelas.
Ayat (3) - (4) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41 - 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tidak
lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau kurang.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1) - (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
”musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan
musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon,
pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5)
Masa jabatan Kepala Desa
yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung sejak yang bersangkutan dilantik
oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Camat”
adalah Camat atau yang disebut dengan nama lain.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 50 - 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Musyawarah Desa merupakan
forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk
masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan
oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa.
Hasil ini menjadi pegangan
bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya.
Yang dimaksud dengan “unsur
masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin,
kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal penataan Desa,
Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.
Huruf b – g Cukup jelas.
Ayat (3) – (4) Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“dilakukan secara demokratis” adalah dapat diproses melalui proses pemilihan
secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2)
Masa keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57 – 60 Cukup jelas.
Pasal 61
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“meminta keterangan” adalah permintaan yang bersifat informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan dalam rangka laporan
pertanggungjawaban Kepala Desa.
Huruf bulan – c Cukup jelas.
Pasal 62 - 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1) – (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Jaminan kesehatan yang
diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan jaminan
pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Sebelum program Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan kesehatan
dapat dilakukan melalui kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha Milik
Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan kemampuan
keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 67 - 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan
“pendapatan asli Desa” adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan Desa
berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang dimaksud dengan “hasil
usaha” termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tersebut”
adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang ditransfer
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan
masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf c – f Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan
“lain-lain pendapatan Desa yang sah” adalah antara lain pendapatan sebagai
hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan yang berlokasi di
Desa.
Ayat (2)
Besaran alokasi anggaran
yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari
dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Anggaran yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan jumlah Desa dan
dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat (3) – (6) Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam penetapan belanja Desa
dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW)
dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai lembaga kemasyarakatan, RT
dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan, perencanaan
pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tidak
terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan dasar yang dibutuhkan
masyarakat Desa.
Yang dimaksud dengan
“kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang dimaksud dengan
“pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
dasar.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1) – (2) a Cukup
jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
“sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c – e Cukup jelas.
Ayat (3) – (6) Cukup jelas.
Pasal 77 - 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk
mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi
sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan
badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM
Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan
kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan
fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat
menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui
pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.
BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada
keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit
usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat
berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa
mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2) – (3) Cukup jelas.
Pasal 88 - 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendampingan”
adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan manajemen.
Huruf c Cukup jelas.
Pasal 91 - 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Penetapan kesatuan
masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat
hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan ini sesuai dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a.
Putusan Nomor 010/PUU-l/2003
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b.
Putusan Nomor 31/PUU-V/2007
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota
Tual Di Provinsi Maluku;
c.
Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008
perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d.
Putusan Nomor 35/PUU–X/2012
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
“penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan status Desa Adat
menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan status kelurahan
menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 101 - 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Huruf a
Yang dimaksud dengan “susunan
asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat yang dikenal di wilayah
masing-masing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ulayat
atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu kesatuan masyarakat hukum
adat.
Huruf c – g Cukup jelas.
Pasal 104
Yang dimaksud dengan
“keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh
mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Pasal 105 - 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Pemerintah dalam hal ini
adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
Pemerintah Daerah Provinsi
dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerintah dalam hal ini
adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Daerah Provinsi
dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia pendamping dan
manajemen.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Huruf a – d Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan
“pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan Peraturan Desa.
Huruf f – n Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sebelum Undang-Undang ini, yang diakui adalah
Desa. Oleh sebab itu, dengan berlakunya Undang-Undang ini diberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk menata kembali status Desa menjadi
Desa atau Desa Adat dengan ketentuan tidak boleh menambah jumlah Desa.
Ayat (3) – (4) Cukup jelas.
Pasal 117 - 122
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5495
Upload
by : SAIFUL S.Pd.I (PROGRAM PENDAMPINGAN DAN
PEMBERDAYAAN PEMBUATAN WEBSITE PEMERINTAH DESA / KELURAHAN) LSM KOBAR PETISI
2016.
Sumber
: dari berbagai sumber resmi website Pemerintah.
Susunan
: Jarak dan spasi di edit:
Posting Komentar
Masukkan komentar Anda disini dengan sopan.